Langsung ke konten utama

Istilah Njawani; Filosofi Pedoman Perilaku



Filosofi Njawani dan Falsafah Jawa - Diartikan sebagai orang Jawa yang hidup dengan nilai-nilai dan ajaran-ajaran leluhurnya. Banyak sekali orang yang berasal dari suku Jawa masih memakai tuntunan tersebut untuk bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain yang sesama suku ataupun berbeda budaya. Pedoman hidup untuk berperilaku, berpikir serta bagaimana cara untuk mencapai tujuan masyarakat Jawa pada umumnya diarahkan untuk tidak melukai sesama bahkan mengajak mereka untuk selaras.

Ungkapan "wong Jawa kok ora njawani" yang muncul akhir-akhir ini barangkali karena minimnya pemahaman akan sikap sebagai orang Jawa yang seharusnya. Dalam penerapan falsafah Jawa di kehidupan sehari-hari ternyata dilatarbelakangi oleh bagaimana pendidikan keluarga serta lingkungan sosial di sekitar. Ini berhubungan dengan bagaimana seseorang menerapkan unggah ungguh (norma kesantunan) serta kepekaan sosial yang diwanti-wanti oleh nenek moyang sebagai bagian dari menghargai makhluk hidup lainnya.

Sikap santun dapat diwujudkan dalam form yang relatif namun sangat sepele, misalnya saja mengatakan "nderek langkung" {permisi) ketika kita berjalan melewati orang lain. Bentuk yang lebih baku diwujudkan dalam tata bahasa yang berjenjang dan aplikatif, maksudnya adalah ketika seorang yang muda mengajak/diajak bicara dengan yang lebih tua (orang tua, kakek nenek, dan yang dituakan) maka bahasa yang diucapkan oleh orang yang muda tersebut seyogyanya menggunakan struktur yang lebih halus (bahasa krama-krama inggil).

Segelintir falsafah Jawa yang merupakan tuntunan hidup layaknya "Sangkan Paraning Dumadi" diartikan sebagai apa yang kamu tanam adalah apa yang akan kamu petik. Filosofi ini begitu melekat sehingga mampu mempengaruhi jalan hidup orang Jawa. Mungkin ini lah mengapa masyarakat Jawa dianggap mempunyai budaya yang ramah karena dengan membantu hidup orang lain secara tidak langsung akan membantu dirinya sendiri. Kedewasaan pemikiran orang Jawa dapat terindikasi dengan falsafah "Semeleh" yang artinya pasrah dan iklas. Diartikan sebagai sikap membuka diri untuk menerima segala sesuatu seturut kehendak Tuhan jika manusia gagal mengusahakannya. Dalam meraih suatu tujuan, orang Jawa menggunakan filosofi "Sakmadya" atau secukupnya; berarti tidak rakus, dan memikirkan orang lain yang masih lebih membutuhkan.

Filosofi Jawa pada hakekatnya menuntun untuk mencapai kesempurnaan hidup sekaligus menjauhkan dari godaan kekuasaan dan materi. Maka pitutur urip iku kudu urup menjadi penting ketika manusia berguna untuk manusia lainnya tidak hanya sebatas mencari kedudukan, kepuasan duniawi dan kepuasan pribadi; Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman.


Pudar Hampir Tergantikan
Kepekaan sosial yang rendah serta individualisme adalah tantangan besar yang dihadapi dalam era perkembangan jaman yang semakin "menuntut". Salah satu hal lainnya yang sudah mulai pudar adalah generasi muda yang tidak terlalu mengindahkan posisinya di tengah kehidupan sosial. Mereka yang muda pun sebenarnya diajarkan untuk memberikan kesempatan kepada yang lebih tua. Dalam budaya Jawa hal ini umum disebut sebagai unggah ungguh, contohnya ketika saat orang renta tidak kebagian tempat duduk dalam gerbong kereta api maka yang muda bersedia untuk berdiri.

Filosofi Jawa mengatakan aja adigang, adigung lan adiguna; pemimpin negara atau wakil rakyat yang korup dan diktator misalnya, mereka juga dapat dikatakan sebagai pemimpin yang sudah tidak Njawani (kacang lupa kulitnya) karena sudah keblinger dan lupa darimana mereka berasal. Suatu era dimana uang dibalas uang, umpatan dibalas umpatan ataupun nyawa dibalas nyawa bisa diartikan sebagai belum dewasanya sebuah pemikiran manusia untuk mencapai kebaikan Tuhan. Mereka yang bijaksana menggunakan Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti yang artinya segala bentuk kekerasan hati, picik, kemarahan akan kalah dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar. Folosofi ini secara konsekuen digunakan dalam penulisan aksara Jawa dimana untuk merubah vokal aksara Jawa menjadi konsonan (mati) adalah dengan cara dipangku. Maka cara untuk mengalahkan orang Jawa adalah dengan dipangku seperti seorang ibu memangku anaknya.

Komentar

  1. Wong Jowo ojo ilang jawane, kudu migunani tumraping liya

    BalasHapus
  2. betul sekal pasrah bukan berarti tidak berusaha. Satu hal yang saya pelajari dari filosofi pasrahnya orang Jawa adalah menyerahkan segala sesuatu seturut kehendak Allah

    BalasHapus
  3. jadi koruptor itu punya pegangan uang tapi tidak punya pegangan hidup?

    BalasHapus

Posting Komentar

BAGAIMANA TANGGAPAN ANDA?

Postingan populer dari blog ini

High Context Dan Low Context

Secara umum, masyarakat di Indonesia sangat erat hubungannya dengan high context yang sebenarnya dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh budaya sopan santun dalam berbicara dan berusaha menjaga sikap dalam bergaul menjadi aspek penting dalam terciptanya high context.

Komunikasi Konvergen ala WILBUR SCHRAMM

Dia membuat serangkaian model komunikasi dimulai dari model komunikasi manusia yang sederhana sampai model yang rumit yang memperhitungkan pengalaman dua individu yang mencoba berkomunikasi hingga ke model komunikasi yang dianggap interaksi dua individu.